In Kendari; Day 3

Matahari belum muncul sempuran kesibukan sudah dimulai di rumah tanteku, samar samar ku dengar, suara suara mereka dalam bahasa daerah berteriak membangunkan. Aku masih tidur tiduran di depan televise menunggu untuk dibangunkan. Begitu aku bangun beberapa dus sudah terplester dan terikat rapi. Ada sekitar tujuh dus dan beberapa kantongan plastik besar. Ini akan menjadi hari yang melelahkan pikirku. Dalam sebuah angkot kami berdesakan dengan barang barang bawaan kami menuju pelabuhan Kendari. Sesampainya di sana aku langsung dikejutkan oleh ulah para buruh berebutan langsung memegang barang kami. Awalnya kupikir mereka ingin mencuri, namun ibuku tidak menggunakan jasa mereka katanya ada aku di sini. Iya kan. Seperti yang sudah ku bilang ini akan menjadi hari yang melelahkan. Keringatku mengujur deras di sekitar pelipis mataku, namun akhirnya kering ditiup angin laut. Kami cukup beruntung, karena kapal yang kami tumpangi cukup besar dan melaju cepat.aku menyesal tidak meminum obat anti mabuk yang sebelumnya ditawarkan ibuku. Hingga akhirnya isi perutku tadi pagi berakhir di laut. Barulah aku bisa tidur.
Dalam tidurku aku bermimpi. Mimpi yang sangat aneh menurutku, aneh namun aku suka. Pertama aku berada di sekolah bersama seorang senior teman kakakku dan aku cukup dekat dengannya sebelum pergi ke sini aku sempat pamitan padanya walaupun cuman lewat fb. Di sekolah aku berbincang dengan guru dan meluruskan sesuatu, tapi tak inigin ku sebutkan di sini. Setelah itu entah tiba tiba saja, saya langsung berada kembali di atas kapal dan masih bersama dengan teman kakakku. Dia sempat mengatakan sesuatu padaku, tapi aku lupa apa itu. Namanya juga mimpi.satu hal yang paling aku ingat ketika ia mengatakan seperti ini.
“kapalmu sudah hampir sampai, saatnya aku pergi” dia pun menghilang dari mimpiku dan sesaat sesudahnya aku dibangunkan oleh ibuku. Ternyata benar kapal telah bersandar di pelabuhan. Buruh di sini tidak terlalu menjengkelkan dari pelabuhan Kendari, namun yang cukup membuat kepala orang gatal ialah urah para pedagang asongan yang mambawa berbagai macam barang dagangan menyerbu masuk ke kapal menawarkan barang dagangan. Mereka sangat tergesah gesah. Tidak peduli dengan dorongan atau senggolan senggolan kecil yang mereka alami. Sungguh susahnya orang mencari uang, salah satu contohnya ialah mereka. Mau bagaimana lagi begitulah dinamika kehidupan.
Sampai di dartan kami harus enuggu mobil karena tidak kebagian sebelumnya, hingga sekitar se jam kami mendapatkan mobil open cap. Ibu dan tanteku duduk di depan samping supir. Saya dan sepupuku yang berumur sembila tahun duduk di belakang. Pepohonan rindang di kiri dan kanan jalan menghalangi sinar matahari di sore itu menerpa kami. Sungguh daerah pedesaan pikirku. Suasanahnya tenang, rindang dan sejuk. Sejam perjalanan akhirnya sampai juga di tujuan. Sebuah rumah cantik dengan cat berwarnah oranye. Rumah ini tergolong mewah jika di bandingkan dengan rumah rumah yang ada di sekitar kampung ini. Tepat di depannya sebelah kanan, ada warung kecil. Usaha kecil kecilan. Inilah rumah nenekku. Aku sempat terdiam beberapa detik. Rumah ini sungguh berupa 100 prosen dari terakhir kali aku ke sini. Tepatnya delapan tahun yang lalu. Aku sangat senang bisa kembali ke sini. Ku harap aku bisa melupakan masalahku dengan keindahan kampong ini. Amin

0 komentar:

Post a Comment