Hantuku





HANTUKU
oleh: M. Nur samad

Hal yang selalu menghampiri Putri, dimana ia menyambutnya dengan beban di dada. Terasa berat setiap ia melangkahkan kakinya. Memandang lurus menatap pintu gerbang sekolahnya. Pagi waktu itu, Putri menyambutnya dengan suasana berbeda. Semangat , riang tawa Putri menyambut pagi, nampaknya telah direnggut oleh kekhawatiran yang menghampirinya. Ujian akhir nasional bakhantu yang memayungi jati diri Putri.
Setiap pagi di sekolah, diadakan apel, dimana para guru tidak henti-hentinya membahas masalah UAN. Putri makin tertekan dan merasa takut menjalani harinya. Siapa pun pasti bisa tahu beban yang menyelimuti Putri. Perempuan mungil dengan jilbab menutupi rambutnya. Tampak mempesona dan menenangkan hati bila dipandang. Namun itu dulu, keceriannya kini tak lagi dapat menghibur teman-teman Putri yang mengidolakannya
Bagaimana tidak, setiap orang yang memandang Putri, pasti terseret dalam kesedihan yang Putri alami. Beban terpancar dari sorot matanya. Mengais-ngais simpati orang-orang. Ingin menolong, namun sulit untuk ditembus. Bayang-bayang hitam, seakan-akan jadi pembungkus diri putri. Jauh dari kebebasan.
Putri perempuan malang. Dibenaknya masih jelas terbayang tangisan kakaknya, Rani. Rani adalah korban dari UAN tahun lalu. Kini Rani hanya membantu ibunya bekerja di rumah. Mungkin inilah penyebab mengapa Putri begitu terbebani oleh UAN. Ia merasa terpukul melihat kakaknya, Rani gagal dalam UAN. Putri merasa ia akan gagal seperti Kakaknya.
Putri telah gugur sebelum berperang. Adakah hal yang dapat membuat Putri bangun dari kesengsaraan-Nya? Semua itu adalah permasalahan bagi teman-teman Putri yang simpati padanya. Mereka kasihan dan sedih melihat Putri. Putri bukan seperti yang dulu lagi. Entah mengapa mereka merasa kesepian. Mereka merindukan Putri yang dulu. Intan teman baik Putri. Orang yang selalu menghibur Putri dikala Putri sedih.
Sudah berkali-kali Intan mencoba menghibur Putri dan memberi semangat untuknya, namun tak begitu berhasil.
“Halo salam alaikum”
“Walaikum salam. Dengan Kak Rani yah?”
“Iya saya sendiri, ini dengan siapa?”
“Saya Intan Kak teman Putri”
“Oh… Intan apa kabar”
Intan mengutarakan semua hal yang mengjanggal dihatinya. Semua rasa keprihatinan dan simpati Intan terhadap Putri dicurahkan pada Rani. Kakak Putri.
“Kak, Intan sudah tidak tahu lagi mau berbuat apa. Teman-teman yang lain juga bingung dan prihatin melihat Putri. Kami harus bagaimana Kak?”
“Wah…sampai segitunya yah. Kakak juga heran melihat tingkah laku adik Kakak, tapi terima kasih yah Tan, sudah mau memperhatikan Putri. Biar nanti Kak Rani yang bicara dengannya”
Semua orang berusaha membantu Putri yang begitu dalam larut dalam kekhawatirannya.
“kriiingggggg…..”
Bel panjang berbunyi menandakan pelajaran usai saat itu. Keramaian dan kegaduhan para siswa lepas seiring terbangnya rasa penat. Kegaduhan siswa menusuk-nusuk hati Putri. Hari yang panjang dan melelahkan sama sekali tidak mengusik lamunannya.
“Putri,” Teriakan Intan membuat hari itu berbeda.
“Pulang sama-sama yuk!” Putri terkesiap. Dengan tiba-tiba Intan menggandeng tangan Putri menuju tempat dimana mereka menunggu angkot.
“Oh.. iya Put, tugas matematikamu sudah selesai belum?”
“Iya sudah selesai.” Putri sedikit kikuk
“Wah…hebat kamu Put, boleh pinjam tidak, nanti aku balikin deh. Soalnya saya takut nanti dimarahi sama Pak Hilman gara-gara telat ngumpul tugas. Kamu tahu sendirikan Pak Hilman orangnya bagaimana” Intan coba menghibur Putri.
“Boleh kok. Tapi saya tidak membawanya hari ini. Mungkin besok baru Putri bawa bukunya.”
“Tidak apa-apa kok. Kan ngumpulnya masih lama. Tapi janji yah Put besok kamu bawa bukunya”
“Iya deh…besok aku bawa kok” Intan senang melihat Putri mau bicara dengannya. Harapan Intan terhadap Putri makin besar. Tak henti-hentinya Intan menawarkan bahan pembicaraan yang hangat di sekolahnya belakangan ini. Mulai dari Amril yang sering dihukum karena terlambat masuk sekolah. Paijo yang tercebur di kolam ikan depan ruangan kepala sekolah. Bahkan cowok-cowok yang menjadi idolah para gadis di sekolah, tak luput disinggungnya. Semua itu hanya untuk menghibur Putri.
“Oh…iya Put setelah kupikir-pikir, aku mau main ke rumahmu ah. Kan sudah lama kita tidak main sama-sama,” katanya “Lagi pula Intan kangen sama nasi goreng buatan Kakakmu. Yah… boleh yah”
“Ada-ada aja kamu Tan. Bilang aja kalo kamu lapar”
“Tapi bolehkan. Intan bosen di rumah, sekali-kali ke rumahmu kan tidak apa-apa”
“Iya deh, boleh kok. Tapi ingat kamu jangan minta yang macam-macam sama Kak Rani”
“Iya kok. Intan janji” Intan nyengir kegirangan
Intan merasa sedikit legah, dengan harapan Putri kembali seperti dulu lagi. Di mata Intan, Putri perempuan yang riang dan centil melebihi dirinya. Intan kembali mengingat saat dimana ia merasa sedih ditinggal ibunya. Hanya Putrilah satu-satunya teman yang selalu memotivasinya. Bahkan hanya Putrilah yang mau menemani Intan di saat orang-orang mengucilkannya. Sungguh tak terbayangkan rasa bersalahnya ia, apabila membiarkan Putri terus larut dalam kekhawatirannya.
“Assalamu alaikum”
“Walaikum salam. Eh Intan apa kabar. Sudah lama yah ngga kesini, ayo masuk” sambut Rani, sedikit terkejut melihat Intan
“Iya Kak, Intan kangen sama nasi goreng buatan Kak Rani”
“Huss… ingat janji kamu Tan” sambar, Putri berbisik
“Intan Cuma bercanda kok”
“Kenapa?” Tanya Rani penasaraan.
“Tidak apa-apa kok Kak”
“Sudah. Cepat sana ganti baju nanti kakak buatkan nasi goreng” seketika Putri menarik tangan Intan, pergi meninggalkan Rani.
“Kamu bagaimana sih Tan. Kamu kan sudah janji ngga minta yang macam-macam sama Kak Rani”
“Maaf deh. Soalnya sudah lama ngga ketemu Kak Rani. Aku jadi terbawa suasana. Eh, buku tugas matematikamu kamu simpan dimana. Daripada nunggu besok mending kerja sekarang” Intan mengalihkan pembicaraan.
“C-cari saja dimeja.” jawab Putri sedikit ragu
Intan terkejut melihat buku tugas Putri yang kosong. Ternyata Putri belum selesai mengerjakan satu pun tugasnya. Intan makin khawatir dengan keadaan Putri. Intan tak habis pikir, sebenarnya apa yang begitu membuat Putri seperti ini. Bahkan buku-buku pelajaran Putri dibiarkan begitu saja berserakan di atas meja. “Bangun Putri. Bangun” katanya dalam hati.
“Put, kamu belum menyelesaikan satu pun tugasmu.” Intan memperlihatkan buku itu pada Putri. Sekali ini, Intan melihat wajah Putri tampak suram. Teguran Intan bakpetir menyambar di siang bolong. Putri hanya diam dan lesuh. Seketika ia mengambil buku tugasnya dari tangan Intan lalu merapikan buku-bukunya yang berserakan. Ia nampak murung. Kegelapan terlihat dari pandangannya, sangat disayangkan ujian akhir nasional tinggal seminggu lagi. Namum Putri belum sadar juga dari tidur panjangnya. Intan terperanjak lesuh. Hatinya terpukul melihat teman baiknya seperti ini.
“Ada apa denganmu Put. Akhir-akhir ini kau seperti orang lain bagiku. Kamu dulu tak seperti ini. Dimana Putri? dimana kamu yang dulu kukenal?. Bukankah kamu sendiri yang mengajariku agar selalu tegar menghadapi cobaan. Kamu juga mengajariku agar tak mudah menyerah. Kamu temanku satu-satunya Put, yang selalu peduli padaku. Put, aku tak bisa melihatmu seperti ini terus” Putri hanya terus tertunduk rapuh menatap foto di atas mejanya. Matanya bergelinang air mata tak dapat tertahankan lagi. Tubuhnya bergetar tak sanggup menahan beban yang ia alami.
Ia terus dihantui perasaan takut akan hari dan peristiwa itu akan terulang lagi padanya. Masih jelas dalam bayang-bayang kekhawatirannya melihat Kakaknya Rani menangisi nasibnya yang malang. Dan nampaknya hal itu menjadi beban psikis bagi Putri.
Begitu pula dengan Intan, teman baik Putri. Ia tak sanggup melihat putri terus-terusan seperti ini. Sebagai sahabat ia merasa tak berguna dihadapan Putri. Bagi Intan, Putri sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri yang telah menolongnya dari kesedihannya dahulu. Kini Intan hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang tak berhasil mengembalikan putri seperti dulu.
Cukup lama mereka terdiam. Suasana ruangan kini dingin.
“Tok..tok.tok…”
“Put, Intan buka pintunya, tangan Kakak Cuma dua, pesanan kalian sudah jadi nih. Ayo buka pintunya” Rani memanggil dari balik pintu, tanpa tahu apa yang telah terjadi.
Mereka berdua terkesiap. Intan segera mengusap air mata di kedua pipinya. Seketika ia mengambil tasnya dan berjalan membukakan pintu. Tampak di hadapannya Rani yang bingung melihatnya.
“Loh, kok, Intan…,”
“Maaf kak” selah Intan kesigukan meninggalkan Rani dan teman baiknya Putri. Rani hanya bisa tabah dan merasa cemas melihat adiknya Putri. Dengan hati-hati, Rani meletakkan makanan di atas kasur Putri, sembari mendekati adiknya.
“Put Kakak tahu permasalahanmu, tapi tidak seharusnya kamu seperti ini. Yang harus kamu lakukan hanyalah bersikap tegar. Tidak sepantasnya apa yang menimpah Kakak, malah membuatmu cemas. Kakak senang seperti ini, takdir kita sudah ditentukan tinggal kamu yang harus mengusahakannya,” Rani menasihati adiknya lembut.
“Apa kamu tidak kasihan melihat Intan, dia sudah susah payah menghiburmu, begitu pula dengan teman-temanmu yang lain.” sudah berkali-kali Putri mengusap air matanya, namun tetap saja terus mengalir.
“Sudah Put, Kakak mengerti perasaanmu.” Rani memeluk adiknya dengan lembut. Tak kuasa, air mata Putri membanjiri pipinya yang sejak tadi tertahankan. Sebagai seorang Kakak, hanya ini yang bisa dilakukan Rani. Ia mencurahkan semua rasa sayangnya pada Putri adiknya. Hanya Putrilah harapan Rani.
Ia berharap Putri lebih baik darinya. Rani sangat merindukan adiknya seperti dulu, ia ingin Putri riang kembali. Ia merindukan tawa Putri yang selalu bisa mengusir rasa lelahnya. Menemaninya dikala ia sedang bosan, Rani juga sangat merindukan celoteh Putri saat ia menceritakan teman-teman sekolahnya. Sejauh ini, Rani hanya bisa berharap dan tak henti-hentinya berdoa agar adiknya yang dulu kembali.
Hari yang dinanti telah tiba. Tiga hari yang sangat menentukan. Putri menjalaninya dengan rasa cemas. Bayang-bayang kegagalan masih terus memayungi diri Putri. Putri kini berjuang sendirian. Intan teman baik Putri hanya bisa berharap Putri mampu menjawab soal dengan benar. Tiap hari Intan tak henti-hentinya memperhatikan Putri. Sebagai seorang sahabat Intan masih peduli pada Putri. Sekali ini saja, Intan sangat ingin menyapah Putri. Melihat Putri mengulum seyum manisnya lagi padanya.
Ia sangat merindukan sifat Putri yang ceria dan lebih centil darinya. Namun sayang, tiap kali Intan mencoba mendekati Putri, Putri terkesan tertutup. Intan dapat melihatnya dari sorot mata Putri yang begitu dingin. Sering Putri memalingkan wajahnya apabila Intan melihatnya. Terkadang, kesal Intan dibuatnya, namun ia tetap sabar dan simpati menghadapi teman baiknya ini.
Intan tak dapat membendung rasa harunya, ketika nomor tes ujian akhir nasionalnya terdapat dalam deretan siswa yang lulus. Begitu pula dengan teman-temannya yang lain. Teriakan gembira menambah rasa syukur mereka. “Bagaimana dengan Putri?”, teringat dibenak Intan untuk segera manemuinya. Ia sangat ingin mencurahkan semua rasa rindunya yang telah lama tertahankan.
Intan telah mencari di semua sudut sekolah, namun Intan belum juga menemukan Putri, sampai ia melihat teman baiknya itu tersungkur di lantai dengan mulut penuh busa.

0 komentar:

Post a Comment