KESURUPAN




KESURUPAN          
Oleh : M. Nur Samad

Remaja itu membuka kancing baju bagian atas, walaupun di kantin berkipas angin. Dia tak sendiri, dia barsama teman-temannya makan dengan lahap.,
Kantin luas itu penuh sesak, beberapa meja berbentuk persegi berada di tengah, dan dua lagi meja persegi panjang merapat di sisi kiri dan kanan tembok. Terlihat beberapa murid yang lain mengantri menunggu pesanan. Keringat mengucur deras di pelipis dan leher remaja itu. Kecubung-kecubung kecil keringat menggantung di bawah kantung matanya. Geger heboh. Mereka bercakap-cakap dengan suara lantang. Sesekali mereka saling mengumpat caci, lalu tertawa terpingkal-pingkal sampai meja dan kursi panjang itu ikut bergoyang. siswa yang lain sempat menoleh, tapi kemudian menunduk bila ditatap.
“Apa liat-liat!” gertak lelaki itu. Mereka hanya diam. Takut dikeroyok sama kakak kelas. Temannya yang lain sempat melirik. Marah. Namun lumer melihat jumlah mereka yang banyak dengan badan besar-besar.
Di meja lain, teman seangkatan merasa kesal. Terganggu dengan suara bising. Mereka terus saja berkoar-koar meraba sudut-sudut kantin. Mereka mulai Gerang. Beberapa kali tatapan tajam diluncurkan. Mereka tetap saja tak peduli. Benar saja, yang dikhawatirkan terjadi. Ketika tawa keras mereka kembali meledak. Gelas air mineral melayang jatuh tepat di kuah mie bakso seseorang di sebelahnya.
Keributan terjadi, salah seorang melompat menendang dada lelaki itu. Mengisyratkan pistol pemicu peperangan. Yang lain mengerang tak mau kalah. Serentak menyerang. Murid-murid yang lain berhamburan keluar, malah ada juga yang datang duduk tenang melihat orang baku hantam seperti anak-anak yang sedang menyaksikan pertunjukan kembang api. Keadaan sudah tak terkendali. Piring-piring pecah diiringi jeritan perempuan yang terjebak di sudut kantin. Terperanga menyaksikan orang-orang baku hantam. Beberapa laki-laki masuk mencoba menolong. Ada yang berhasil, namun ada juga yang malah ikut dalam perkelahian. Degub nyeri di pipi kanan membakar amarahnya. Memukal menendang membabi buta. Tak peduli mana kawan mana lawan.
Di belakang Mas Ramli memukul-mukul panci dengan sendok, keras, berteriak mencoba meredakan keributan, namun tak berani masuk dalam amukan yang makin membesar. Terlihat beberapa remaja tergeletak roboh bersimbah darah di lantai. Tak mampu berdiri, terinjak-injak oleh mereka yang menjelma menjadi binatang buas. Kasihan, yang lain menyelinap menarik remaja itu, lalu melarikannya ke tempat yang aman.

Di luar beberapa guru menerobos mencoba masuk. Seketika murid yang lain memberi jalan. Beberapa remaja terlihat kelelahan diam-diam keluar meninggalkan kantin.

Para guru menguasai keadaan. Yang tak mau diam dipukul perutnya hingga lemas. Kemudian semuanya diseret ke ruang BK.

Esoknya suasana masih dingin. Khawatir kericuhan kembali terjadi. Keadaannya tetap seperti biasa, beberapa murid terlihat sibuk memarkir kendaraan silih berganti. Keadaan tenang damai dan sejuk terlhat dari atas. Tapi ada yang aneh. Terlihat beberapa remaja sibuk berkerumun, nampaknya sedang merencanakan sesuatu. Benar saja. Entah siapa yang memberikan aba-aba, mereka tiba-tiba berlari menerjang si Sulaiman, lelaki berbadan tinggi besar yang kemarin memulai perkelahian. Spontan, teman-teman Sulaiman menderam-deram berlari membantu. Menyelamatkan temannya yang roboh terkulai habis dikeroyok. Kericuhan kembali terjadi. Kali ini malah lebih parah. Medan yang luas membuat mereka leluasa. Batu-batu di sekitar dijadikan senjata.pagi, darah segar mengucur di kening bekas hantaman batu. Gigi terlihat merah, walaupun meludah berkali-kali tak hilang juga. Brutal. Mereka layaknya binatang buas yang sedang memperebutkan makanan. Tak sedikitpun terliahat celah ketenangan. Para guru awalnya melerai, mencoba meredakan amukan. Mulai Gerang tak ada yang menanggapi. Ia mengepalkan tangan memukul perut para murid satu-persatu hingga roboh lemas.
Mulai saat itu, sekolah amburadur tak ada ketertiban dan ketenangan. Hanya cekam menyelimuti. Huru-hara membeludak. Para murid mulai berontak. Segala bentuk pelanggaran menghiasi hari. Guru sudah tak dihormati, sudah tak disegani. Hanya nalar binatang bergejolak di kepala. Semuanya takut bertindak, seakan-akan berada di tengah-tengah kerumunan buaya yang siap menerkam kapan saja. Belajar mengajar tergannggu. Banyak keributan terjadi. Sampai-sampai sekolah memanggil polisi untuk mengamankan keadaan. Tapi, tetap saja mereka tidak kapok juga. Keributan tetap saja terjadi. Sampai hari itu kemudian tiba.
“Haa…….aaa….!!!”terdengar suara melengking. Samar-samar dari kejauhan.
“Apa itu? Tanya seseorang.
“Mungkin ada yang berkelahi lagi” Tiba-tiba seseorang datang, tergopoh-gopoh berdiri di daun pintu terengah-engah.
“Kesurupan!!! ada yang kesurupan!” Katanya.
“Apa! Kesurupan?siapa?”Sergah seseorang.
“Saya juga tidak tahu, jelasnya bukan satu orang saja, mungkin ada tiga sampai empat orang, semuanya perempuan,”
Masalah baru muncul. Kesurupan. Empat perempuan tiba-tiba saja pingsan. Semuanya dilarikan ke UKS sekolah. Berselang beberapa menit, ada lagi yang pingsan. Semuanya kesurupan. Peristiwa kesurupan ini berlangsung berhari-hari. Siswa dipenuhi rasa takut. Atas inisiatif mereka sendiri, mereka membawa al-quran ke sekolah, mengaji setiap paginya, namun ada juga yang membawa al-quran sebagai pegangan saja. Jeritan kembali terdengar. Lagi-lagi kesurupan
Sejak peristiwa kesurupan itu, keadaan kembali tenang, tidak ada lagi perkelahian sesama murid, perlahan-lahan mereka mulai segan kepada guru mereka, menghormati mereka. Mereka juga saling mengingatkan agar selalu berpegang kepada yang maha kuasa agar tidak kesurupan. Namun, saat itu juga timbul desas desus tentang peristiwa kesurupan yang sering terjadi di sekolah. Banyak kejadian-kejadin aneh yang terjadi. Beberapa guru tiba-tiba saja jatuh sakit. Penyakit yang aneh. Mereka mengaku sering mengalami mimpi buruk. Hingga akhirnya sakit, kemudian bertingkah aneh. Beberapa guru yang lain pun mulai menaruh curiga. Mereka saling lirik memikirkan sesuatu, mencari kekurangan masing-masing dan mengait-ngaitkannya dengan peistiwa kesurupan yang belakangan ini terjadi. Hingga muncul anggapan bahwa peristiwa kesurupan itu adalah ulah dari salah seorang di antara mereka yang ingin meduduki jabatan tertinggi. Desas-desus iitu semakin kokoh ketika tiba-tiba saja kepala sekolah jatuh sakit. Seluruh badan sangat sulit digerakkan. Kepala, tangan dan kaki terasa dikekang oleh sesuatu. Kini beliau hanya terbaring lemas di rumah sakit.
“Ini tidak bisa dibiarkan” kata Pak Mustakim pada rekannya dengan suara pelan. Rekannya Pak Mustamin mendekat merespon dengan suara pelan pula.
“Saya tahu Pak, tapi kita mau berbuat bagaimana? percuma saja bila kita hanya saling menaruh curiga pada rekan kita sendiri. Lagipula saya belum terlalu pecaya betul dengan desas-desus itu”.

“Sama Pak, awalnya saya juga tidak percaya, tapi lihatlah kenyataannya sekarang. Rekan-rekan kita semuanya sakit, seperti orang gila saja, bahkan kepala sekolah juga sampai masuk rumah sakit dan masih belum sembuh sampai sekarang.”
“Wah saya tidak pernah kepikiran sampai kesitu, tapi jikalau memang desas-desus itu memang benar maka siapa diantara kita yang melakukan ini semua? dan kenapa dia melakukannya?”. Pak Mustamin menekan, mengundang perhatian guru-guru yang lain. Spontan mereka berdua terdiam sejenak, menunggu perhatian teralihkan.
“Huss! pelan-pelan Pak”
“Iya.., iya maaf, tapi mau bagaimana lagi? kita tidak mungkin diam saja dalam situasi yang seperti ini, sebenarnya kalau bapak sendiri, siapa yang bapak curigai. Bisik-bisik saja, jangan sampai kedengaran sama yang lain?” Penasaran, dengan lugu Pak Mustamin mendekatkan telinganya ke bibir Pak Mustakim.
Berbisik Pak Mustakim menjawab
“sebenarnya saya mencurigai Bapak”
“Apa!!! Bapak gila yah?, mana mungkin saya seberani itu, Bapak tahu sendirikan, untuk ke kamar mandipun saya selalu meminta ditemani sama Bapak”bantah Pak Mustamin dengan suara keras, seluruh urat lehernya mengembang dengan mata membelalak. Pak Mustakim seakan diguyur rintik hujan kala itu. Seluruh pandangan guru yang lain tertuju padanya.
“Waduh, sabar Pak…., sabar saya Cuma bercanda kok, saya tidak menyangkah Bapak yang sabar dan tidak banyak bicara ini, bisa marah seperti itu, sabar Pak, saya Cuma bercanda kok”. Sergah Pak Mustakim mencoba meredakan amarah rekannya yang dikenal penyabar ini.
“Kenapa Pak? apanya yang mesti ditemani ke kamar mandi?” Tanya Bu Suharni, mengalihkan pembicaraan. Guru yang lain tersenyum sampai tertawa melihat rekan-rekannya yang lain tertawa.
“Tidak, tidak apa-apa kok”
“Sudahlah Pak, katakan saja semuanya, mumpung perhatian teralihkan ke Bapak”
“Wah, jadi Bapak sudah merencanakan ini semua yah? tidak. Saya tidak mau. Bapak saja yang cerita. saya tidak mau memulai”.
“Sudahlah Bapak saja yang cerita, tanggung Pak”
“Tidak, saya tidak mau. Sampai kapanpun saya tidak mau bercerita”. Mimik Pak Mustamin terlihat meyakinkan. Pak Mustakim tahu betul sifat temannya ini.
“Hah…, baiklah kalau begitu. Akhirnya aku juga. Wahai rekan-rekan sekalian,” Pak Mustakim menarik napas dalam-dalam, membesarkan suaranya kembali menarik perhatian.
“Sekarang jangan ada lagi dusta diantara kita. Saya tahu semuanya pasti menaruh curiga pada seseorang masing-masing diantara kita, dan kita tidak bisa terus-terusan seperti ini , saling tuding satu sama lain. Jikalau memang diantara kita ada dendam yang belum tersampaikan, sekarang inilah saatnya untuk mengatakannya”
Guru-guru lain diam sejenak, melirik satu sama lain. Hingga akhirnya Bu Mawardi ikut bicara.
“Tenanglah Pak, ini sudah jaman modern bukan saatnya lagi kita percaya pada desas-desus yang tidak masuk akal itu. Kita ini orang terpelajar yang bisa menggunakan pikirannya dengan baik”Katanya dengan irama lambat.
Guru lain diam, tertunduk. Seakan-akan tidak sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Bu Mawardi.
“Sudahlah Bu,”kata Pak Mustakim, “Percaya atau tidak percaya, masalah kesurupan ini telah menebarkan fitnah diantara kita. Saya tahu kok, diantara kita semua, pasti saling mencurigai satu sama lain, entah itu siapa orangnya dan benar atau tidak. Apakah kita mau terus-terusan sepert ini?, apakah kita hanya diam membiarkan desas-desus tersebut memecah?” Pak Mustakim menekan.

“Saya sependapat dengan apa yang dikatakan Pak Mustakim” kata pak Abu, dengan suara berat dan pelan. Pak Mustakim yang sejak tadi berdiri menantang, merasa mendapat dukungan dari Pak Abu, kembali duduk di kursinya. Guru-guru yang lainpun tidak tertunduk lagi, beberapa menghela napas kemudian memperhatikan percakapan yang berlangsung. Mungkin inilah waktunya, inilah saatnya masalah ini harus segera diselesaikan.”
“Semua yang dikatakan oleh Pak Mustakim itu benar, terus terang saya juga mencurigai salah seorang diantara kita. Maaf saja kalau saya berkata seperti ini. Daripada saya bercerita dibelakang dan saya juga sudah bosan. Lebih baik saya jujur saja sekarang untuk menghindari fitnah, seperti yang dikatakan oleh Pak Mustakim”
Guru yang lain memperbaiki posisi, sepertinya mereka juga telah menyiapkan pendapat masing-masing, beberapa kembali menghela napas panjang.
“Biarkanlah kali ini saya yang memulai pembicaraan”, Pak Abu melanjutkan. “Selain dari kepala sekolah yang jatuh sakit dua rekan kita juga yaitu Pak Rasyid dalam hal ini selaku wakasek kurikulum dan Pak Saharudin selaku wakasek kesiswaan. Setelah itu barulah kepala sekolah yang jatuh sakit. Ketiga rekan kita ini memang menduduki jabatan penting di sekolah ini. Jadi wajar jika memang diantara kita muncul desas-desus seperti sekarang ini. Maka berdasar dari itu, saya kali ini…., mohon maaf sebelumnya, saya mencurigai Pak Said sebagai dalang dari semua masalah ini.” Pak Said yang dituding mulai gelisah, namun hanya diam saja.
“Sekali lagi maafkan saya, saya menuding Pak Said bukan tanpa ada alasan sama sekali. Saya mencurigai Bapak karena saya merasa bahwa Pak Said lah yang paling berambisi jika berhubungan dengan jabatan. Sejak awal saya sudah mencurigai gerak-gerik Bapak”
“Astagfirullah Pak, tidak baik berburuk sangkah seperti itu, itu dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar di antara kita”. Potong Bu Mawardi
“Hum. Saya sudah menduga Ibu akan berkata seperti itu, karena terus terang saja, saya juga mencurigai Ibu. Saya sering mendapati Ibu berdua dengan Pak Said saling mendiskusikan sesuatu dan saya melihatnya bukan sekali saja kudapati, tetapi berulang kali”
“Ya wajarlah Pak, jikalau seperti itu,” potong Pak Said “Namanya juga sesama pengajar, dan saya rasa semua diantara kita juga seperti itu”. Pak Said menekan.
“yang dikatakan Pak Said itu benar”, sambung Bu Mawardi. “Yang harus dicurigai sebenarnya itu adalah Bapak. Seminggu yang lalu saya melihat sendiri, kelihatannya Bapak bermasalah dengan kepala sekolah.selain dari itu, saya juga beranggapan bahwa bapaklah yang sebenarnya mengincar jabatan, walaupun Bapak adalah guru pindahan, tapi semua tahu kok Bapak salah satu guru pembimbing yang telah lama mengajar. Bisa saja Bapak bosan karena terlalu lama mengincar jabatan”.
Pak Abu yang tadinya tenang mulai gelisah. Sorot matanya mengisyaratkan kebencian.
“Saya lebih berpihak pada Pak Abu”, kata Pak Mustamin. “Saya juga cenderung mencurigai Pak Said dan Bu Mawardi. Saya sependapat dengan Pak Abu. Memang saya juga menyaksikan bahwa antara Pak Said dan Bu Mawardi, kelihatannya sering terjadi pembicaraan khusus, bukan hanya di sekolah tapi juga di rumah Bu Mawardi. Saya bisa tahu itu semua, Karena memang seperti yang teman-teman ketahui, kami semua berada di satu kompleks perumahan yang sama. Jadi siapapun orangnya tolong mengaku saja, agar masalah ini tidak berlarut-larut”.
“Apa yang kalian pikirkan?, saya tidak mungkin mencelakakan teman sendiri”. Kata Pak Said. Marah. “Sayapun tidak punya masalah dengan teman-teman kita, apalagi dengan kepala sekolah. Tolong pikirkan baik-baik, tidak mungkin saya punya niat sepeti itu”.
“Itu memang bisa diterima, tapi tidak dengan Bu Mawardi” segah Pak Abu dengan nada tinggi. “ Bisa saja kamu korban dari bujuk rayunya dan akhirnya kamu terhasut. Iming-iming apa yang ia tawarkan padamu hingga kamu mau ikut dengannya. Asal kamu tahu saja, setela ia memperalatmu dia pasti akan menghianatimu. Percayalah!”.
“Cukup Pak. Cukup!” sergah Bu Mawardi dengan napas terengah-engah, dadanya sesak, perlahan-lahan kemudian .menangis. “Sudahi saja semuanya biarkan waktu yang menjawab”.
“Tidak mungkin bisa seperti itu, apakah kita harus diam saja dengan masalah ini?, itukan yang diinginkan oleh Ibu, agar Ibu bisa lebih leluasa menjalankan rencana Ibu”. Bu Mawardi menangis makin kencang. Tiba-tiba saja Pak Abu beranjak menghampiri Bu Mawardi. Suasana menjadi tegang.
“Sudahlah Bu, tidak usah bersandiwara. Air mata palsu itu tidak berguna, tidak mompan pada saya” kata Pak Abu menunjuk-nunjuk. Spontan Pak Said beranjak menghampiri Pak Abu.
“Cukup Pak! Cukup!!! Bapak sudah kelewatan. Bapak terlalu melebih-lebihkan keadaan”.
“agghlah…..!. tidak usah bersandiwara. Kalian berdua sama saja. Kalian penghianat yang berkedok di balik baju gamis dan jilbab kalian” kata Pak Abu mendorong Pak Said hingga tergeletak di lantai. Spontan kejadian ini memicuh perpecahan dan kemarahan. Guru-guru lain sibuk melerai tapi ada juga yang membiarkan. Kata-kata kotor pun terulang beberapa kali, hingga akhirnya hantaman sepatu keras mendarat di perut Pak Abu. Keributan pun terjadi. Semua saling serang membabi buta. Layaknya sekerumunan banteng yang sedang beradu. Ruang guru kini menjadi medan pertempuran. Segala benda dijadikan senjata. Kericuhan ini mengundang perhatian murid-murid. Beberapa perempuan berteriak, mencoba mencuri perhatian para guru, kemudian berpura-pura pingsan kesurupan. Tapi, tetap saja tidak berhasil, para guru tidak peduli. Kaca-kaca jendelah pecah akibat lemparan kursi. Darah segar mewarnai. Tak ada lagi ketenangan, tak ada lagi kedamaian. Kelihatannya mereka semua telah kesurupan
Ya, benar mereka semua kesurupan, dan dibalik kesurupan itu terliaht senyum yang mengekik.

0 komentar:

Post a Comment