Pasrah
Oleh : M. Nur Samad
Ini bermula dari perasaan sukaku padanya. Ani namanya, perempuan manis dengan rambut melengkung sampai ke leher. Hingga kini aku masih menaruh perasaan padanya. Tapi setiap kali aku melihatnya bersama Amri, hatiku hancur berantakan. Apalagi dengan Iin perempuan yang sering menggangguku, mengusik lamunanku. Tiap kali ia datang padaku dengan riang tawanya memecah memanggilku. Pertanda untukku agar menyiapkan mental. Perempuan cerewet ini akan tambah menyebalkan bila ia mengibas-ngibaskan rabut kucirnya. Tawa cemprengnya ingin meledakkan kepalaku.
Menanggapi ceritanya yang tak berujung. Aku hanya menatapnya dingin. Diam seribu kata. Namun, ajaib dia tetap tak merasa dan tetap bercerita.
Baiklah kalau begitu sudah cukup perkenalannya. Begini ceritanya.
Diam-diam ku ambil buku kesayangan Ani. Buku yang selalu ia bawah kemana-mana. Aku tak tahu apa isinya. Sopan santun masih ada hingga aku tak mau membukanya, meski sejak dulu aku penasaran dibuatnya. Sifat dingin dan cueknya pecah, keteika ia kebingungan mencari bukunya. Semua orang turut panik dibuatnya. Dalam simpati mereka, aku mencari celah. Dengan sigap kumasukkan buku Ani kedalam tas Amri bagaikan elang menukik tajam
Saat hening, aku dating menawarkan.
“Periksa saja semua tas di kelas ini, mungkin saja ada yang sengaja menyembunyikannya” kataku yakin. Ani diam tak bertindak, matanya berkaca-kaca, tak dapat berkata apa-apa, tapi teman-teman yang lain menuruti saranku. Semua tas diperiksa satu-persatu hingga mendekati tas Amri. Diantara kesibukan itu kubalikkan badanku perlahan mencari sudut kosong, dari pandangan mereka. Aku tersenyum mengekik, membayangkan kemarahan Ani pada Amri sebentar lagi.
Baru saja tangan-tangan itu meraih tas Amri, bersiap memeriksanya. Eh..!!!, Pak Zoel keburu datang. Seketika kursi penuh. Hanyut dalam pelajaran sejarah yang membosankan setiap kalimat dari Pak Zoel bagaikan tuntunan musik klasik pengantar tidur.
“Krinnngggg…..” akhirnya bel berbunyi. Aku beranjak menemui Ani dan mengajaknya ke Buana, sebuah cafe tepat depan sekolah, disini murid-murid sering nongkrong menunggu waktu ekstrales tiba.
“iya, baiklah tunggu saja aku disana” jawab Ani lesuh.
“Aku juga ikut yah!” pinta Iin yang duduk di sebelah Ani
“Ahk…! Ngga usah ini bukan urusanmu” ia terperanjak lesuh. Kasihan juga dia, tapi biarlah, aku tak mau peduli. Aku akan tetap menjalankan rencanaku. Akan kubuat malu Amri di sana.
Sudah hampir 30 menit aku menunggu, Ani belum datang-datang juga. Kucari dia di tengah-tengah keramaian tapi nihil. Yang ada dari kejauhan datang menghampiriku hanyalah Iin, kuharap dia bersama Ani, tapi kali ini tidak. Ia sempat melirikku, kemudian membuangnya jauh-jauh. Mungkin ia sakit hati atas penolakanku tadi untuk mengajaknya juga. Penasaran aku memberanikan diri.
“Hai In…” aku memasang wajah ramah, ia pun merespon hangat.
“Ah kenapa?”katanya, nyengir kegirangan. Tanpa kusuruh duduk ia main nyosor saja, duduk tepat di depanku. Tempat yang sengaja ku siapkan untuk Ani. Walaupun kesal, aku menyabar-nyabarkan diriku, tak ku sangka aku bisa senekat ini. Aku memasang senyum palsu sembari bertanya padanya.
“Oh iya In, kamu lihat Ani tidak?”
“Ani…?, tuh..” ia memandang jauh kebelakang, aku pun mengikuti isyarat matanya. Ternyata tanpa kusadari Ani sudah ada di sana, duduk bersama Amri, dengan buku kesayangannya terpeluk erat. Amri menjadi pahlawan di mata Ani. Kepalaku meletu-letup di buatnya.
“Oh iya!, mau minum apa?. Aku yang traktir deh” Tanya Ani dengan riangnya.
“Minum baygon saja sana”. Aku langsung beranjak pergi, hhaaaa…, kesal ku dibuatnya.
Ini bermula dari perasaan sukaku padanya. Ani namanya, perempuan manis dengan rambut melengkung sampai ke leher. Hingga kini aku masih menaruh perasaan padanya. Tapi setiap kali aku melihatnya bersama Amri, hatiku hancur berantakan. Apalagi dengan Iin perempuan yang sering menggangguku, mengusik lamunanku. Tiap kali ia datang padaku dengan riang tawanya memecah memanggilku. Pertanda untukku agar menyiapkan mental. Perempuan cerewet ini akan tambah menyebalkan bila ia mengibas-ngibaskan rabut kucirnya. Tawa cemprengnya ingin meledakkan kepalaku.
Menanggapi ceritanya yang tak berujung. Aku hanya menatapnya dingin. Diam seribu kata. Namun, ajaib dia tetap tak merasa dan tetap bercerita.
Baiklah kalau begitu sudah cukup perkenalannya. Begini ceritanya.
Diam-diam ku ambil buku kesayangan Ani. Buku yang selalu ia bawah kemana-mana. Aku tak tahu apa isinya. Sopan santun masih ada hingga aku tak mau membukanya, meski sejak dulu aku penasaran dibuatnya. Sifat dingin dan cueknya pecah, keteika ia kebingungan mencari bukunya. Semua orang turut panik dibuatnya. Dalam simpati mereka, aku mencari celah. Dengan sigap kumasukkan buku Ani kedalam tas Amri bagaikan elang menukik tajam
Saat hening, aku dating menawarkan.
“Periksa saja semua tas di kelas ini, mungkin saja ada yang sengaja menyembunyikannya” kataku yakin. Ani diam tak bertindak, matanya berkaca-kaca, tak dapat berkata apa-apa, tapi teman-teman yang lain menuruti saranku. Semua tas diperiksa satu-persatu hingga mendekati tas Amri. Diantara kesibukan itu kubalikkan badanku perlahan mencari sudut kosong, dari pandangan mereka. Aku tersenyum mengekik, membayangkan kemarahan Ani pada Amri sebentar lagi.
Baru saja tangan-tangan itu meraih tas Amri, bersiap memeriksanya. Eh..!!!, Pak Zoel keburu datang. Seketika kursi penuh. Hanyut dalam pelajaran sejarah yang membosankan setiap kalimat dari Pak Zoel bagaikan tuntunan musik klasik pengantar tidur.
“Krinnngggg…..” akhirnya bel berbunyi. Aku beranjak menemui Ani dan mengajaknya ke Buana, sebuah cafe tepat depan sekolah, disini murid-murid sering nongkrong menunggu waktu ekstrales tiba.
“iya, baiklah tunggu saja aku disana” jawab Ani lesuh.
“Aku juga ikut yah!” pinta Iin yang duduk di sebelah Ani
“Ahk…! Ngga usah ini bukan urusanmu” ia terperanjak lesuh. Kasihan juga dia, tapi biarlah, aku tak mau peduli. Aku akan tetap menjalankan rencanaku. Akan kubuat malu Amri di sana.
Sudah hampir 30 menit aku menunggu, Ani belum datang-datang juga. Kucari dia di tengah-tengah keramaian tapi nihil. Yang ada dari kejauhan datang menghampiriku hanyalah Iin, kuharap dia bersama Ani, tapi kali ini tidak. Ia sempat melirikku, kemudian membuangnya jauh-jauh. Mungkin ia sakit hati atas penolakanku tadi untuk mengajaknya juga. Penasaran aku memberanikan diri.
“Hai In…” aku memasang wajah ramah, ia pun merespon hangat.
“Ah kenapa?”katanya, nyengir kegirangan. Tanpa kusuruh duduk ia main nyosor saja, duduk tepat di depanku. Tempat yang sengaja ku siapkan untuk Ani. Walaupun kesal, aku menyabar-nyabarkan diriku, tak ku sangka aku bisa senekat ini. Aku memasang senyum palsu sembari bertanya padanya.
“Oh iya In, kamu lihat Ani tidak?”
“Ani…?, tuh..” ia memandang jauh kebelakang, aku pun mengikuti isyarat matanya. Ternyata tanpa kusadari Ani sudah ada di sana, duduk bersama Amri, dengan buku kesayangannya terpeluk erat. Amri menjadi pahlawan di mata Ani. Kepalaku meletu-letup di buatnya.
“Oh iya!, mau minum apa?. Aku yang traktir deh” Tanya Ani dengan riangnya.
“Minum baygon saja sana”. Aku langsung beranjak pergi, hhaaaa…, kesal ku dibuatnya.
0 komentar:
Post a Comment