MAU NABUNG



MAU NABUNG
Oleh : M. Nur Samad

Baru pertama mulai aku sudah ditabrak becak. Baru mau marah, eh…malah didahuluin sama tukang becak. “Sial”. Tapi aku menyabar-nyabarkan diriku, buat apa bertengkar sama tukang becak di tempat umum. Mereka itu tak berpendidikan makin di lawan mereka makin maju. “Dasar tukang becak.” Hujamku dalam hati mencoba meredam amarah.
Terik sekali hari ini. Seperti biasa, seragam putih abu-abu berjubel, berhamburan di depan jalan sekolah yang sempit. Aku gerah dengan semuanya. Kepalaku mampet habis belajar Mate-matika yang menegangkan. Sepanjang jam pelajaran tadi, aku terus berdoa. Mudah-mudahan Pak Abu lupa bahwa ada tugas, sebab aku tidak mengerjakannya. Mulanya berjalan lancar, Pak Abu asyik menerangkan soal-soal di buku cetak. Setelah itu, ia mulai rutinitasnya.
Tiba-tiba saja, spidol yang tadi digenggamnya berpindah tangan. Ia meletakkan spidol itu di atas meja salah seorang murid. Kebetulan hari itu Tio yang dapat giliran. Dengan segan, Tio mengambil spidol itu, sesaat kulihat ia menghela napas. Kemudian melangkah dengan gagah berani mirip koboy menyambut tantangan duel dari lawannya. Nampaknya Tio sudah tahu cara menyelesaikan soal itu. Begitu kulihat wajahnya, ia berkeringat, memang semua orang berkeringat saat itu, tapi Tio berbeda. Keringatnya mengucur deras memenuhi kepalanya.
Tangannya gemetar memegang spidol, namun perlahan ia mulai menulis.
“Berhasil” kataku dalam hati. Baris pertama selesai, tapi dasar Tio, setelah kuperhatikan, ternyata hanya soalnya saja yang ditulis ulang. Ia terdiam sejenak, memperhatikan buku cetak ditangan kirinya. Cukup lama ia terdiam mematung sampi akhirnya Pak Abu kehilangan kesabarannya. Ia beranjak merampas spidol Tio. Kemudian menyelesaikan soal itu dengan mudahnya. Tio menatap penuh rasa cemas.
Benar saja. Usai mengerjakan soal, Pak Abu memutar spidol kemudian,…
“Tak…!!!” pantat spidol mendarat di jidat Tio, tepat mengenai jerawatnya. Sebuah isyarat yang baik dari Pak Abu untuk menyuruhnya duduk. Tio membalikkan badan. Tangan kirinya menjajak di dahi, mata kirinya tertutup, meringis menahan sakit. Aku yang melihatnya jadi kasihan, tapi tidak dengan teman-temanku yang lain. Mereka terkekeh-kekeh menahan tawa. Andai saja Pak Abu tidak marah jika murid tertawa. Pasti ledakan tawa sudah menggunjang kelas kami.
Pelajaran hari itu pun usai ditutup dengan tragedi Tio. Aku merasa legah, tapi hanya sejenak. Kesibukan kami memasukkan buku ke dalam tas, terhenti. Pak Abu meminta tugas kami dikumpul. Kami saling berpandangan satu sama lain. Tapi, apa boleh buat. Aku pun menyetor buku tugasku walaupun belum selesai. Aku hanya bisa pasrah menanti nasib, nantinya mau diapakan oleh Pak Abu.
Itulah yang membuatku pengap. Aku habis digenjot tekanan batin. Suasana menyengat ini idak sesuai yang kuharapkan, angin mati dan udara tetap memanggang. Apalagi sebentar, tepat pukul empat sore aku harus ke tempat bimbingan belajar. Kalau tidak aku akan kena denda.
Kuperiksa uang di dompetku, ternyata tinggal sepuluh ribu rupiah, ku putuskan untuk naik becak. Terik, panasnya matahari melumerkan niatku untuk berjalan kaki. Padahal sebelumnya aku sudah berniat mau nabung.
Uangku kini tinggal delapan ribu rupiah, terdiri dari tujuh lembar uang seribu dan sisanya recehan lima ratusan. Begitu yang ku terima dari kembalian si tukang becak. Aku berbenah diri di rumah, sejenak beristirahat meregangkan badan, kemudian meluncur ke kamar mandi. Bersiap-siap berangkat bimbel.
Seperti biasa aku berangkat naik angkot. Entah mimpi aku semalam, bisa berdua saja di atas angkot bersama Nadia. Perempuan idola kaum lelaki di sekolah.
“Mau bimbel juga yah?” Nadia bertanya sambil melempar senyum padaku.
“Iya” ku balas dengan senyum lebar.
Tak kusangka aku bisa bertemu dan ngobrol dengannya. Nadia, perempuan cantik dan manis saat dia mengulum, senyumnya. Aku sangat beruntung hari ini, jarang-jarang aku bisa bertemu dengannya. Aku pun memanfaatkan kesempatan ini, mencoba menarik perhatiannya.
“Biar aku yang bayar Nad” seketika aku meyambar, merogok saku, mengeluarkan dua lembar uang seribuan.
“Ini Pak” kataku membayar ongkos
“Terima kasih yah, sudah mau bayarin”
“Tidak apa-apa kok Nad, nyantai aja kali” kataku menyombongkan diri.
Aku sangat menyukai ini. Aku bisa berjalan berbarengan dengan Nadia. Tak jauh dari kami, ku lihat beberapa pria menatapku sinis karena berjalan berdua bersama Nadia. Lebih-lebih Baco. Air mukanya sungguh tak bersahabat. Maka ku hirup aroma kemenangan ini dalam-dalam, kemudian ku lepaskan perlahan penuh kenikmatan.
Sorenya dikala senja menampakkan wajahnya. Ku lihat Nadia bersama teman-temannya di sebuah cafe yang berada tepat bersebelahan dengan tempat bimbel kami. Kembali ku rogoh sakuku. Ternyata tinggal enam ribu rupiah.
“Mungkin masih cukup” pikirku. Naluri kelaki-lakianku muncul. Aku sudah jauh nmelangkah, tidak mungkin aku mundur. Perlahan aku duduk di meja yang kosong di cafe itu. ku buka menu di atas meja perlahan. Ku perhatikan baik-baik pada lajur harga di sebelah kanan.
“Gawat” lantunku dalam hati. Semua makanan dan minuman di tempat ini sunggu mahal. Harga termurah hanya lima ribu rupiah. Ku arahkan telunjukku menelusuri barangnya, ternyata kopi. Kembali kutarik semua uang di sakuku, takut nanti kalau salah hitung. Tapi, tetap saja sama enam ribu rupiah. “Sudahlah kopi saja” pikirku.
Sambil menunggu kopiku. Diam-diam kuperhatikan Nadia dengan senyum manisnya. Tapi, sial! baru saja aku hendak menghampiri, ia bersama teman-temannya beranjak pergi, padahal pesananku belum datang. Di sini aku dihadapkan pada posisi sulit. Antara kopi seharga lima ribu rupiah, atau pulang bersama Nadia.
Aku tak punya banyak waktu. Nadia terus menjauh. Sudah kuputuskan aku memilih pilihan kedua. Nadia membuatku penasaran. Dengan sigap, ku tarik semua uang di sakuku. Tapi memang nasib apes masih menyelimutiku. Uang recehan lima ratusanku, jatuh menggelinding dan berhenti tepat di bawah meja, sekeluarga yang sedang asyik melahap hidangan mereka. Tampak sepasang suami istri dengan tiga anak-anak mereka yang masih kecil.
“Sial!!!!” teriakku dalam hati. Aku mengerang bagai roket yang siap meluncur. Terpaksa ku tanggalkan niatku mengejar Nadia. Uangku kini tinggal lima ribu lima ratus rupiah. Sebentar lagi ku tebus pesananku lima ribu rupiah. Berarti sisanya tinggal lima ratus rupiah.
“Naik apa aku pulang nanti?”. Pikirku.
Kopiku kini tinggal seteguk lagi habis, tapi keluarga itu belum juga beranjak pergi. Ku buka isi tasku menjamah semua bukuku, semata membunuh waktu. Akhirnya mereka mulai berbenah diri. Ku tukikkan tatapanku terpusat pada uang itu. aku akan mengambilnya begitu mereka pergi, tak peduli dengan orang lain yang akan melihatku nantinya.
“Ma!!! Ada uang!!!.” Sahut salah satu anak mereka yang paling kecil. Ibunya hanya tersenyum membiarkan anaknya memungut uang itu.
“Uugh….kurang ajar!!!..., dasar anak sialan, tak tahu bagaimana dengan nasibku”. Batinku terus mengumpat caci tak menentu. Ingin rasanya kuremukkan badan anak itu.
Uangku kini tinggal lima ratus rupiah. Mau nabung malah buntung. Kukejar anak yang tadi. Bersiap dengan aba-abaku. Kulempar uang lima ratusku tepat mengenai kepalanya. Spontan anak itu menangis. Ayahnya menyadari perbuatanku, ia menatapku dengan nafsu seorang pembunuh.
“Sudah ambil saja semuanya”. Aku teriak sekeras-kerasnya. Kemudian berlari meninggalkan mereka.

0 komentar:

Post a Comment